Pada artikel sebelumnya, kami memaparkan pengalaman mengikuti rutinitas medis pasien Imunodefisiensi Primer (IDP), Latisha Azkadina Gumilar, dalam perawatan Ataxia-Telangiectasia (AT) dan Nonfamilial Hypogammaglobulinemia di RSCM Kiara, Jakarta. Setidaknya sekali dalam satu bulan, Tishia—panggilan akrabnya—datang ke RSCM untuk mendapatkan perawatan IVIG dan pemeriksaan rutin lainnya. Lalu, usaha preventif apa yang dilakukan ibu dari Tisha, Arianti, dan keluarganya untuk menjaga kondisi Tisha supaya tetap optimal?
5 Langkah Preventif Jaga Kondisi
Mengutip dari my.clevelandclinic.org dan National Library of Medicine, Ataxia-Telangiectasia (AT) adalah penyakit degeneratif yang ditandai dengan hilangnya fungsi dan/atau struktur jaringan yang terkena dampak secara progresif. Artinya, terjadi perubahan sel-sel dalam jaringan atau organ tubuh yang terus-menerus menurun dari waktu ke waktu. AT dapat juga disebut penyakit neurodegeneratif karena sel-sel sistem saraf pusatnya berangsur-angsur berhenti bekerja.
Kondisi tersebut membuat Tisha mengalami:
Gerak yang tidak terkoordinasi.
Kesulitan berjalan sehingga Tisha menggunakan bantuan kursi roda atau stroller untuk mobilitasnya.
Kesulitan makan, menulis, hingga memakai baju.
Perubahan cara bicara.
Kesulitan menelan.
Sedangkan, Nonfamilial hypogammaglobulinemia adalah kondisi rendahnya kadar imunoglobulin dalam darah yang disebabkan oleh faktor-faktor selain faktor genetik atau keturunan. Misalnya, karena mengalami penyakit berulang tanpa perawatan yang tepat atau konsumsi obat-obatan tertentu dalam waktu lama.
“Ataksia yang dialami Tisha tidak dapat disembuhkan. Kondisi paru-parunya juga sudah kronik sehingga mengeras. Giginya pun rontok karena sering mengonsumsi obat keras,” sebut Arianti mengenai kondisi Tisha saat ini.
Bagi Arianti, perawatan medis rutin pada Tisha setiap bulan dilakukan untuk memperpanjang usianya. Tentu, tidak lupa Arianti melakukan upaya preventif dalam kehidupan sehari-hari guna menjaga kondisi Tisha. Antara lain:
1. Menyediakan kamar yang bersih dan berventilasi
Kamar Tisha sebelumnya ada di bagian belakang rumahnya dan tidak berjendela. Arianti lalu mengubah ruang tamu jadi kamar Tisha sehingga setiap pagi dapat membuka jendela untuk sirkulasi udara yang lebih baik.
2. Rutin membersihkan rumah
Tisha mudah sesak napas sehingga rumah harus rutin dibersihkan dari debu-debu. Dia juga harus menghindari menghirup asap, termasuk asap dapur dari masakan.
3. Makanan harus lunak
Tisha tidak ada pantangan makanan. Namun, makanannya harus dimasak sampai empuk karena dia ada sulit menelan. Masak nasi sampai agak lembek. Sayuran sampai lembek banget. Dia juga makan daging, tapi harus dimasak sampai empuk. Makan kue atau biskuit tetap bisa, yang penting gampang dikunyah.
4. Tidak minum minuman dingin atau es
Tisha tidak bisa minum minuman dingin seperti es atau dari kulkas. Makanan juga tidak boleh dingin atau yang baru dikeluarkan dari lemari pendingin. Dia akan sesak napas jika mengonsumsi makanan atau minuman dingin.
5. Tidak ke luar rumah atau bermain di luar rumah
Selain karena daya tahan tubuhnya yang rendah, juga mobilitas Tisha sulit. Dia harus pakai stroller atau kursi roda, jadi tidak bisa ke luar rumah sendiri. Tisha pergi ke luar rumah kalau ada acara keluarga atau keperluan lainnya. Karena itu, dia senang meski pergi ke rumah sakit, artinya bisa jalan-jalan ke luar rumah.
Latihan Koordinasi Gerak
Bentuk perawatan lain yang dijalani Tisha adalah fisioterapi untuk penguatan otot tubuh bagian bawah, melatih koordinasi gerak, dan latihan pernapasan. Kami juga sempat menemani Tisha menjalani fisioterapi di Rumah Cerebral Palsy (RCP) Bogor yang rutin dijalaninya seminggu sekali, setiap hari Kamis, selama 45 menit, dari pukul 09.00 WIB.
Menurut Arianti, fisioterapi ini awalnya dijalani di RSCM. Namun, karena kondisi imun Tisha rendah, sehingga tidak memungkinkan dirinya untuk bolak-balik Jakarta-Bogor setiap minggu. “Baru beberapa kali fisioterapi di RSCM, dia sakit. Sedangkan, kalau di rumah sakit di Bogor, setiap kali fisioterapi, harus meminta rujukan dari RSCM karena memakai BPJS,” jelas Arianti.
Akhirnya, karena Tisha juga mengidap cerebral palsy (CP), Arianti menemukan informasi tentang RCP dari Facebook grup penderita CP seluruh Indonesia. Tisha pun ia daftarkan di RCP dengan proses yang mudah dan tanpa biaya untuk setiap kali sesi terapi. Hingga saat ini, sudah hampir tiga tahun Tisha bergabung di RCP.
“Target untuk Tisha adalah dapat berdiri dan berjalan mandiri lagi. Serta, endurance untuk bernapas bisa lebih baik. Sekarang, alhamdulillah, pernapasannya sudah lebih baik dari awal ia bergabung tiga tahun lalu,” ungkap Ade Suciati, fisioterapis RCP yang melatih Tisha dan kamu temui waktu itu.
Fisioterapi = Sekolah
Ada yang menarik, Tisha menganggap fisioterapi yang dia lakukan adalah sekolah. Pada usia 12 tahun ini, Tisha tidak bersekolah seperti anak-anak seusianya. Dulu, ia sempat sekolah TK dan SD hingga kelas 1 saja. Namun, karena terus-menerus rawat inap begitu baru masuk SD, Tisha pun berhenti sekolah hingga saat ini.
Sehari-hari, Tisha lebih banyak bermain di dalam rumahnya. Seperti, menonton video-video di YouTube atau TikTok, menggambar, mewarnai. Malah, kadang pengen ikut membantu membereskan rumah. Tisha memang tampak selalu ceria. Menurut Arianti, sehari-hari tidak mau diam, ada saja yang dia kerjakan untuk mengisi waktu.
“Karena jadwal fisioterapi yang rutin seminggu sekali, Tisha menggap fisioterapi sebagai sekolah. Oleh karena itu, Tisha selalu bersemangat pergi “sekolah”, kata Arianti. Selain karena dapat bertemu teman-temannya yang ikut fisioterapi juga, Tisha selalu minta ke “sekolah” (fisioterapi) karena ingin bisa jalan lagi. Semangat-semangat Tisha yang tidak pernah hilang itulah yang membuatnya—meski terbatas—tetap bisa beraktivitas seperti anak-anak lain.
Baca Juga:
(Foto: Freepik, Dok. PPIPI, Dok. Pribadi)
Comments