top of page
Meiranie Nurtaeni

IPOPI Workshop in Indonesia: Elaborasi Langkah Strategis Advokasi Imunodefisiensi Primer di Indonesia


Database Pasien Imunodefisiensi Primer
Martine Pergent, Presiden International Patient Organisation for Primary Immunodeficiencies (IPOPI), presentasi tentang registry pasien IDP

 “Jangan mengecilkan usaha, advokasi Imunodefisiensi Primer (IDP) harus dimulai dari suatu titik, untuk menuju ke suatu titik yang berbeda. Jika tidak memulainya, Anda tidak akan ke mana.”


Demikian saran Bruce Lim, International Patient Organisation for Primary Immunodeficiencies (IPOPI) Vice-President dan Presiden Malaysia IPOPI (MyPOPI) dalam presentasinya di sesi pertama acara IPOPI National PID Advocacy and Awareness Workshop in Indonesia yang berlangsung pada tanggal 25 – 26 November 2023 lalu. Acara yang berlangsung di AYANA Midplaza Jakarta ini dihadiri langsung oleh para board members IPOPI, Perhimpunan Pasien Imunodefisiensi Primer Indonesia (PPIPI), para dokter sekaligus medical advisors PPIPI, serta perwakilan orang tua pasien IDP Indonesia.


Sesuai tajuknya, acara ini mengetengahkan workshop dari IPOPI untuk mengidentifikasi langkah-langkah apa yang dapat ditempuh oleh PPIPI dalam advokasi dan meningkatkan kesadaran publik mengenai IDP ke depannya. Tidak hanya untuk membantu masyarakat memperoleh informasi mengenai penyakitnya, tapi juga mendorong pemerintah membuat kebijakan peningkatan sistem layanan kesehatan untuk pasien IDP di Indonesia.


Bruce Lim, International Patient Organisation for Primary Immunodeficiencies (IPOPI) Vice-President dan Presiden Malaysia IPOPI (MyPOPI)

Salah satu cara yang dikemukakan dalam workshop ini adalah berkaca dari kesuksesan organisasi pasien IDP di negara lain dalam advokasinya, seperti MyPOPI dari Malaysia. Saran yang dikemukakan Bruce di atas berdasarkan pengalaman MyPOPI dalam membangkitkan dan meningkatkan kesadaran publik mengenai IDP dan para pasiennya di Malaysia. Antara lain, mengusahakan dialog dengan Kementerian Kesehatan Malaysia dan berkolaborasi dengan organisasi atau komunitas pasien lainnya.


Mengatasi Hambatan dalam Diagnosis IDP


Dimas Adhi Sugiharto, Presiden Perhimpunan Pasien Imunodefisiensi Primer Indonesia (PPIPI), menjelaskan misi dan tujuan PPIP

Dalam workshop tersebut, Dimas Adhi Sugiharto, Presiden PPIPI, menjabarkan juga tentang misi dan tujuan dari PPIP. Antara lain, sebagai support kepada para pasien IDP di Indonesia, meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai IDP, serta advokasi untuk peningkatan penanganan IDP.


Dr. Dina Muktiarti, dokter ahli alergi dan imunologi dari RSCM dan Universitas Indonesia sekaligus PPIPI Medical Advisor juga mengungkapkan bahwa masih kurangnya kesadaran mengenai IDP di Indonesia, baik oleh publik maupun ahli medis, menjadi hambatan sulitnya diagnosis IDP. Selain itu, kurangnya fasilitas diagnosis IDP yang mumpuni di Indonesia mengakibatkan seringkali IDP baru terdiagnosis dalam waktu 3 bulan – 11 tahun sejak gejala awal.


Kanan: Leire Solis, IPOPI Health Policy and Advocacy Senior Manager; Kiri: Dr. Dina Muktiarti, dokter ahli alergi dan imunologi dari RSCM dan Universitas Indonesia serta PPIPI Medical Advisor

Dr. Dina juga menggaris bawahi tentang pengobatan dan perawatan IDP di Indonesia hanya ada terapi IVIg. Secara umum, dukungan BPJS Kesehatan untuk para pasien IDP di Indonesia juga masih terbatas.


Leire Solis, IPOPI Health Policy and Advocacy Senior Manager, menyebutkan bahwa untuk memperoleh dukungan dari pemerintah, PPIPI perlu “menyuarakan” mengenai IDP ke publik dahulu. Ketika “suara” mengenai IDP semakin bergaung, akan lebih mudah “mendesak” pemerintah memberikan fasilitas atau dana kesehatan untuk pasien IDP.


Simulasi Advokasi IDP

Workshop hari pertama menghadirkan pula simulasi strategi jika PPIPI mengadakan meeting dengan Kementerian Kesehatan untuk advokasi IDP dalam waktu 15 menit. Simulasi ini dibagi dua kelompok dengan tema yang berbeda. Kelompok pertama berupaya meyakinkan Menteri Kesehatan RI untuk memberikan dukungan dana bagi perawatan IDP di Indonesia. Sedangkan, tema kedua adalah proposal untuk mengutamakan penyediaan plasma dan terapi IVIg bagi pasien IDP Indonesia.



Dari simulasi ini, PPIPI diharapkan semakin siap melakukan langkah-langkah taktis untuk mendapatkan dukungan Kementerian Kesehatan. “Ketika ada opening, ambil kesempatan tersebut; presentasi menggunakan istilah yang mudah dipahami dan lakukan dengan singkat (minimal tiga slides) karena waktu yang terbatas,” kata Bruce Lim mengenai hal tersebut.


Johan Prevot, IPOPI Executive Director, lalu mengingatkan bahwa obyektif meeting mungkin tidak akan dicapai dengan cepat. Oleh karena itu, penting PPIPI untuk terus melakukan kampanye guna menjaga visibilitas organisasi ke masyarakat umum.


Pembuatan Database IDP Indonesia

Keberadaan database pasien atau registry tidak lupa didiskusikan pada workshop hari kedua. Menurut Martine Pergent, Presiden IPOPI, registry sangat penting untuk dikelola guna memahami lebih baik mengenai IDP itu sendiri.


“Data-data yang diperoleh dari registry dapat digunakan untuk meningkatkan perawatan pasien IDP, memajukan penelitian medis, serta mendukung upaya advokasi dan pengambilan kebijakan mengenai sistem pelayanan kesehatan,” ungkap Martine.


Prof. dr. Martin van Hagen, IPOPI Medical Advisory Board

Database diperoleh dari partisipasi pasien sendiri secara sukarela melalui kuesioner, input data medis, alat-alat medis, hingga aplikasi yang dibuat untuk memantau kondisi pasien. Pembuatan registry ini pula yang saat ini sedang dirintis oleh PPIPI.


Sebagai tambahan, Prof. dr. Martin van Hagen, IPOPI Medical Advisory Board, menyebutkan bahwa registry dari kacamata sains juga bukan hal yang mudah, bahkan dengan kemajuan teknologi.



Workshop diakhiri dengan menyebutkan kembali beberapa tantangan yang dihadapi PPIPI ke depannya. Seperti, tantangan dalam hal diagnosis IDP yang tidak mudah dilakukan, perawatan IDP yang terbatas, juga ahli-ahli medis yang belum banyak mengenal IDP.


Guna mengatasinya, diharapkan untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai IDP sehingga memberikan dukungan suara mengenai pentingnya IDP. Serta, mencari sponsor yang dapat memberikan support dalam jangka panjang. Untuk itu, disarankan untuk menyusun “white book” yang berisi tentang keberadaan IDP di Indonesia hingga saat ini dan IPOPI mengungkapkan kesediaannya untuk membantu penyusunan “white book” tersebut.



Baca Juga:






25 views0 comments

Comentários


bottom of page